Mar 16, 2018

Biografi Margono Djojohadikusumo - Pendiri Bank BNI

Biografi Margono Djojohadikusumo - Pendiri Bank BNI

Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang dipenuhi oleh orang-orang hebat dan para pahlawan yang cukup berpengaruh dibidangnya baik dari kalangan politik, militer maupun pendidikan. Salah satu tokoh yang cukup dikenal di Indonesia berkat jasa-jasa dan perannya di berbagai bidang yang digelutinya adalah Margono Djojohadikusumo.

Di kalangan muda seperti saat ini memang tokoh ini kurang begitu dikenal, namun jika cucu beliau pasti sudah banyak yang mengenalnya karena cukup familier. Margono Djojohadikusumo adalah kakek dari tokoh pendiri Partai Gerindra yakni Prabowo Subianto yang pernah mencalonkan diri menjadi Presiden Republik Indonesia.

RM. Margono merupakan tokoh politik dan pejuang yang sifat dan perjuangannya layak diteladani oleh generasi muda penerus bangsa. Begitu banyak hasil perjuangan yang beliau rintis semasa hidupnya salah satunya yang bisa kita nikmati hingga sekarang adalah kemudahan pelayanan di bidang perbankan dari Bank BNI.

Tentunya perjuangan RM. Margono tidak hanya sampai di situ, namun lebih banyak dari itu. Lantas bagaimana sepak terjang Margono Djojohadikusumo lainnya selama hidupnya hingga menutup mata? Untuk lebih jelasnya simak informasi lebih jelas dalam biografi RM. Margono berikut.

Informasi pribadi Margono Djojohadikusumo
Margono Djojohadikusumo merupakan cucu buyut Panglima Banyakwide atau Raden Tumenggung Banyakwide yang menjadi anak dari asisten Wedana Banyumas serta pengikut dari Pangeran Diponegoro yang setia.

Pendiri dari salah satu bank terbesar di Nusantara yakni Bank Negara Indonesia (BNI) ini pernah bersekolah di ELS (Europeesche Legere School) Banyumas. ELS Banyumas tersebut merupakan Sekolah Dasar di Banyumas yang berada pada jaman kolonial Belanda dari 1900 hingga 1907.

Pendiri Bank BNI
Margono Djojohadikusumo terlahir tanggal 16 Mei 1894 di kota Banyumas, Jawa Tengah, Negara Hindia Belanda. Kemudian beliau meninggal dunia pada usia 84 tahun pada tanggal 25 Juli 1978 di Jakarta, Indonesia. Bapak Margono Djojohadikusumo yang beragama islam tersebut memiliki istri seorang bernama Siti Katoemi Wirodihardjo.

Margono Djojohadikusumo  adalah orangtua dari  Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo yakni sang Begawan Ekonomi Indonesia, serta ayahanda dari 2 orang remaja yang meninggal ketika pecahnya Pertempuran Lengkong di Serpong pada tahun 1946 yakni: Taruna Soejono Djojohadikusumo (16 tahun) dan Kapten Anumerta Soebianto Djojohadikusumo (21 tahun).

Kejadian gugurnya kedua putra RM. Margono pada usia remaja tersebut merupakan kesedihan terbesarnya. Kemudian kedua nama anaknya yang meninggal tersebut dikenang melalui nama sang cucunya yakni mantan Pangkostrad dan Danjen Kopassus serta politikus Prabowo Subianto dan Hashim Sujono yang berprofesi sebagai seorang pengusaha.
    Saat Soemitro tidak lagi sejalan dengan Bung Karno dalam hal PRRI maka sang ayah ternyata ikut sependapat dengan sang anak. Lalu mereka sekeluarga pindah ke Kuala Lumpur dan menetap di sana selama beberapa tahun.  Meski begitu pada bukunya berjudul Kenangan Tiga Zaman yang aslinya berjudul Herinneringen uit Drie Tijdperken, Bung Karno ternyata tetap digambarkan sebagai sosok Pahlawan.
Margono Djodjohadikusumo
Sepak terjang Margono Djojohadikusumo semasa hidupnya
    Semasa hidupnya, Margono Djojohadikusumo cukup berdedikasi dan menjadi tokoh yang cukup berpengaruh di masanya. Hal ini terbukti dari berbagai perannya dalam berbagai organisasi bahkan mendirikan sebuah bank yang saat ini cukup terkenal serta pesat perkembangannya. Adapun sepak terjang Margono Djojohadikusumo selama hidupnya antara lain:

1. Hak angket
Hak angket dalam sejarah ketatanegaraan republik Indonesia, digunakan pertama kali oleh DPR sekitar tahun 1950-an. Hal ini bermula dari usul resolusi dari RM. Margono Djojohadikusumo supaya DPR atas upaya memperoleh devisa serta cara menggunakan devisa untuk mengadakan Hak Angket.
Kemudian dibentuklah panitia angket dengan anggota sebanyak 13 orang dimana Margono ditunjuk sebagai ketua. Panitia angket ini berperan dalam menyelidiki untung serta rugi dalam mempertahankan devisen-regime sesuai Undang-Undang Pengawasan Devisen pada 1940 berikut perubahan-perubahannya.

2. Ketua Dewan Pertimbangan Agung Sementara
Satu hari usai Bung Karno dan Bung Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden dilantik, kemudian dibentuklah DPS atau Dewan Pertimbangan Agung Sementara dan Kabinet Presidentil. Kemudian Margono Djojohadikusumo ditunjuk untuk menjadi Ketua DPAS pertama.
Beliau menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung Sementara ke-1 dengan masa jabatan dari tanggal 25 September 1945 hingga 6 November 1945. Kemudian setelah lengser, beliau digantikan oleh Raden Aria Adipati Wiranatakoesoema V.

3. Direktur Utama Bank BNI
Selaku Ketua DPAS, kemudian Margono Djojohadikusumo mengusulkan untuk membentuk sebuah Bank Sirkulasi atau Bank Sentral sebagaimana yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Kemudian Soekarno dan Hatta menyampaikan mandat untuk Margono supaya menggagas sekaligus melaksanakan persiapan dalam membentuk Bank Sirkulasi (Bank Sentral) Indonesia yakni di bulan September tepatnya pada tanggal 16 tahun 1945.

Sidang Dewan Menteri RI pada tahun 1945 tepatnya tanggal 19 September menetapkan untuk dibentuknya bank Negara yang berperan sebagai Bank Sentral atau Sirkulasi. Akhirnya terbitlah Perpu No. 2 tahun 1946 pada tanggal 15 Juli 1946 yakni terkait didirikannya BNI serta Margono Djojohadikusumo ditunjuk sebagai Dirut Bank BNI (Bank Negara Indonesia).
Selama beliau menjabat sebagai Direktur Utama Bank BNI, status hukum dari Bank BNI naik menjadi Persero yakni pada tahun 1970.


Bibliografi dari Margono Djojohadikusumo
    Tidak hanya piawai dalam sepak terjang di dunia politik, Margono Djojohadikusumo juga menelurkan karyanya pada buku-buku hasil tulisannya. Buku-buku hasil karya bapak Margono tersebut antara lain:
1.    Sriwibawa, Sugiarta (1994), “100 tahun Margono Djojohadikusumo”, Jakarta: Pustaka Aksara
2.    Djojohadikusumo, Margono (1969). “Reminiscenses from three historical periods a family tradition put in writing”, Jakarta: Indira
3.    Djojohadikusumo, Margono (1975), “Catatan-catatan dari lembaran kertas yang kumal DR. E.F.E Douwes Dekker (DR. Danudirja Setiabudi), seorang yang tak gentar menjunjung tinggi suatu cita-cita hidup kemerdekaan politik Indonesia”, Jakarta: Bulan Bintang
4.    Djojohadikusumo, Margono (1946), “Kenang-kenangan dari tiga zaman”, Jakarta: Indira
5.    Djojohadikusumo, Margono (1941), “Tien jaren cooperatie-voorlichting vanwege de overhead 1930-1940”, Batavia: Volkslectuur

Mengenal Margono Djojohadikusumo beserta leluhur Prabowo Subianto lainnya
    RM. Margono Djojohadikusumo yang merupakan kakek dari Prabowo Subianto ini merupakan salah satu generasi muda nasionalis. Beliau merupakan nasionalis muda angkatan di bawah Dr. Cipto Mangunkusumo, Tirto Adi Suryo, seorang Indo-Belanda Dauwes Dekker (Danu Dirja Setiabudi) dan Ki Hadjar Dewantara.
    Margono tercatat sebagai putra dari Lembah Serayu yang pada tanggal 29 April tahun 1945 diangkat menjadi anggota BPUPKI, sehingga turut serta ketika proses penggodogan Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia.
    Saat Bung Karno selaku Presiden dan Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden membentuk Kabinet Presidentil ke-1. RM. Margono didaulat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung Sementara atau DPAS.
    Ketika Kabinet Syarir telah terbentuk, RM. Margono memberikan usul supaya NKRI membentuk sebuah bank sirkulasi. Usul tersebut kemudian disetujui dan akhirnya BNI terbentuk dimana RM. Margono diangkat sebagai Direktur Utama.
    Ayah RM. Margono merupakan seorang Wedana Banyumas yang berhasil menyelesaikan pendidikannya di ELS. Sepertinya beliau merupakan seorang autodidak yang begitu cerdas sehingga dapat meraih puncak dari jenjang karir yang begitu tinggi.
    Kemungkinan besar Margono telah mengenal Syahrir cukup lama melalui Pendidikan Nasionalis Indonesia) Baru atau PNI-Baru yakni sebuah partai kader yang cukup aktif menyumbangkan kursus-kursus di bidang kebangsaan, ekonomi dan politik.
    PNI-Baru dipelopori serta didirikan oleh Syahrir dan Bung Hatta, sesudah Partai Nasionalis Indonesia atau PNI yang didirikan oleh Soekarno membubarkan diri berkat inisiatif dari Mr. Sartono. Alasan Mr. Sartono membubarkan PNI gagasan Soekarno adalah akibat Bung Karno ditahan di Penjara Sukamiskin sebagai pertimbangan mendasar guna membubarkan partai dengan haluan radikal tersebut.
    Setelah Syahrir dan Hatta ditangkap dan kemudian dibuang oleh Belanda ke Digul serta dipindahkan ke Banda, PNI-Baru akhirnya juga bubar.  Namun Syahrir-Hatta juga sempat membentuk jaringan kader yang cukup luas di seluruh penjuru Tanah Air secara khusus di Pulau Jawa yakni di wilayah Banyumas.
    Kader-kader Syahrir dalam PNI-Baru tersebutlah kelak yang menjadi inti dari Partai Sosialis yang dipimpin Syahrir. Sepertinya Margono Djojohadikusumo yang terpilih menjadi anggota BPUPKI ialah melalui pengaruh Syahrir dan Hatta yang telah dikenalnya ketika pelatihan kaderisasi PNI-Baru.
    Kedepannya sang putra yakni Sumitro akan menjadi kader partai sosialis yang menjadi kesayangan Syahrir yang begitu spesial akibat bakat dan talentanya yang luar biasa di bidang ekonomi. Memang ada yang menarik jika kita menelusuri rekam jejak para tokoh-tokoh sosialis. Rata-rata mereka merupakan tokoh autodidak yang ulet, rajin dan tekun termasuk Syahrir sendiri.
    Syahrir tidak pernah menyelesaikan bangku kuliahnya, namun beliau merupakan seorang autodidak yang cukup tangguh. Begitupun para anak didiknya yang berhasil menjadi tokoh publik, misalnya: Sujatmoko, Sugondo Djojopuspito, Rosihan Anwar, Muchtar Lubis dll. Bahkan cucu RM. Margono yakni Prabowo juga mewarisi tradisi para tokoh sosialis yang juga banyak dikenalnya.
    Dalam budaya autodidak sebagaimana kalangan para tokoh sosialis generasi pemula, bapak Soeharto bukanlah tokoh sosialis tapi sepertinya terinspirasi oleh mereka yang merintis karir lewat budaya autodidak. Pandangan yang sekuler terhadap agama namun tidak anti agama juga merupakan ciri yang menonjol lainnya dari para tokoh Partai Sosialis generasi awal.
    Mereka adalah sosok kosmopolitan namun tetap seorang nasionalis serta suka melakukan perkawinan lintas kebangsaan dan agama, namun tetap setia terhadap agama leluhurnya yakni Islam. Syahrir menikahi seorang perempuan berkebangsaan Belanda, begitupun Takdir Ali Syahbana, Dr. Cipto Mangunkusumo bahkan ayah Prabowo yakni Sumitro.
    Bisa jadi akibat menjadi menantu bapak Soeharto, Prabowo memiliki sikap yang lebih menonjol sebagai seorang nasionalis yang religius dibanding ciri-ciri seorang nasionalis. Darah pejuang dan bakat intelektual yang terlihat pada Margono Djojohadikusumo yakni saat beliau menata dunia perbankan di Indonesia.
    Beliau merupakan tokoh dibalik pendirian Bank Negara Indonesia (BNI). 3 orang putra beliau yang juga mempunyai bakat pejuang dan intelektual yakni Subianto, Sumitro serta Sujono. Putra sulung Margono Djojohadikusumo yakni Sumitro merupakan sosok yang mempunyai bakat intelektual yang begitu luar biasa.
    Dengan alasan tersebut Margono Djojohadikusumo mengarahkan pendidikan Sumitro supaya dapat mengembangkan bakat intelektualnya yakni dengan mengirimkannya untuk sekolah di universitas terbaik di wilayah Eropa. Sedang Putra kedua dan ketiga yakni Subianto dan Sujono sepertinya memang mewarisi darah pejuang yang berasal dari para leluhurnya.
    Kedua orang tersebut memutuskan untuk masuk Akademi Militer Tangerang yang berdiri pada bulan November tahun 1945 dibawah komando yang dipimpin Mayor Daan Mogot. Pada tanggal 25 Januari tahun 1946 perang mempertahankan kemerdekaan meletus di beberapa wilayah.
Mayor Wibowo dan Mayor Daan Mogot yang didampingi Letnan Satu Subianto memimpin sebanyak 70 siswa Akademi Militer Tangerang untuk menuju Lengkong. Akhirnya pertempuran sengit namun tidak seimbangpun terjadi. Ketika pertempuran tersebut 32 orang siswa Akademi Militer Tangerang tersebut gugur.
Siswa yang gugur sebagai kusuma bangsa tersebut termasuk juga Lettu Subianto (21 tahun), Taruna Sujono (16 tahun) serta Mayor Daan Mogot. Dua orang pertama merupakan putra kedua dan ketiga dari RM. Margono Djojohadikusumo yang juga paman Prabowo dan adik Sumitro. Yang jelas Prabowo belum lahir ketika pamannya tersebut gugur sebagai kusuma bangsa.
Prabowo baru terlahir tahun 1951 atau lima tahun kemudian. Margono Djojohadikusumo dari Sumitro memiliki 4 orang cucu yakni Marjani Ekowati Le Maistre, Biantiningsih Miderawati, Hashim Sujono dan Prabowo Subianto. Nama dari putra Margono Djojohadikusumo yang gugur ketika remaja tersebut diabadikan untuk melengkapi 2 nama cucu putranya yakni Hashim dan Prabowo.
   
Margono Djojohadikusumo Meninggal Dunia
    Margono Djojohadikusumo meninggal dunia di Jakarta  pada 25 Juli 1978 serta disemayamkan di pemakaman keluarga yang terdapat di Dawuhan, kota Banyumas, Jawa Tengah. Pada waktu itu Bung Hatta ikut melepas jenazah beliau di Taman Matraman Jakarta menuju pemakaman keluarga di Banyumas, lokasi dimana para leluhurnya disemayamkan.
Pendiri Pusat Bank Indonesia yang diganti namanya pada tahun 1946 menjadi Bank Negara Indonesia ini merupakan seseorang yang telah berusia lanjut namun senantiasa sehat wal afiat. Baru pada tahun 1978 tersebut kesehatannya terlihat menurun. Bahkan 2 hari sebelum meninggal, bapak Margono masih melakukan transaksi dagang untuk salah satu perusahaan miliknya.
Pada hari Selasa tanggal 25 Juli 1978 pagi, beliau pergi ke kamar mandi. Ternyata di tempat tersebut beliau terkena serangan jantung. Karena kulit hitam dan perawakannya yang kecil, almarhum kerap menyebut dirinya sebagai een klein Negertje atau si negro kecil.
Beliau adalah seorang putra bangsawan dari turunan ke-13 Adipati Mrapat. Meski beliau masih termasuk keturunan bangsawan, namun almarhum merupakan bangsawan yang berjiwa kerakyatan. Berdasarkan pernyataan Subagijo IN, beliau senantiasa berbahasa kromo inggil kepada siapa saja yang dapat berbahasa Jawa.

Penghargaan yang diraih Margono Djojohadikusumo
    Segala hal yang telah beliau lakukan selama hidupnya memang patut untuk diberikan penghormatan dan penghargaan. Sebagai bangsa yang bermartabat, mengenang jasa pahlawan menjadi salah satu upaya untuk meneladani sekaligus berupaya melanjutkan perjuangannya.
 Untuk menghargai segala peran dan jasa yang pernah dilakukan beliau, Margono Djojohadikusumo mendapat penghargaan berupa:
1. Nama R.M Margono Djojohadikusumo diabadikan sebagai sebuah nama jalan di ruas Jakarta
2. Gedung R.M Margono Djojohadikusumo yang terdapat di Universitas Gajah Mada Yogyakarta diberikan nama sesuai dengan nama beliau
3. Kisah beliau semasa hidup menjadi inspirasi pada pembuatan film yang bertajuk Merah Putih

Margono Djojohadikusumo adalah sosok pahlawan dari kalangan bangsawan yang santun dan berbakat. Begitu banyak hasil karya dan perjuangan Margono Djojohadikusumo yang harus dijaga dan diteladani terutama para pemuda generasi penerus bangsa. Beliau bisa menjadi inspirasi banyak orang untuk menjadi pribadi yang tekun, ulet dan penyabar ketika masa-masa perjuangan.
Biografi Margono Djojohadikusumo - Pendiri Bank BNI
4/ 5
Oleh
Add Comments

Komentar yang bersifat Spam, SARA, Konten Dewasa akan dihapus
EmoticonEmoticon